TIDAK ADA PERDAMAIAN (ABADI) TANPA KEADILAN
Aceh sudah sejak lama menjadi seperti lahan "ujicoba" peluru dan senjata. Bahkan sejak beratus ratus tahun lamanya yakni semenjak abad ke 17 kekerasan kerap melanda negeri ini. Saking terbiasanya dengan peperangan, maka rakyat Aceh sering "meracau" perang hanyalah mainan belaka, tapi matinya sungguhan.
Sejarah "tanoeh" Aceh senantiasa diwarnai dengan rentetan perang, dari satu pertempuran ke pertempuran lainnya, dari satu lawan kelawan lainnya. Dari melawan Portugis, Belanda, Indonesia sampai dengan "melawan" saudara sebangsa (Aceh) sendiri. Sebuah hipotesa yang sulit terbantahkan bahwa setiap ada perlawanan baik secara sopan bin demokratis atau bahkan secara kasar pemberontakan yang menyebabkannya tak lain dan tak bukan adalah rasa ketidak-adilan.
Rasa kecewa terhadap apa yang berlaku, rasa kecewa atas apa yang diterima dan kekecewaaan yang berkepanjangan inilah yang sering hingap di hati sepanjang sejarah perlawanan rakyat Aceh, mulai dari kecewa terhadap penjajahan Belanda, kecewa terhadap pemerintahan Indonesia, bahkan kekecewaan pada pemerintah Aceh sendiri seperti yang terlihat akhir-akhir ini, terlepas ada pihak yang mencoba "membantu" menyulut api, namun yang pasti "benih" konflik itu selalu muncul dari ketidak adilan.
Akhir-akhir ini “perlawanan” di Aceh kembali muncul dan kali ini yang terlibat perseteruan adalah sesama bangsa Aceh atau bahkan bisa dikatakan layaknya perseteruan antara anak dengan ayah, misalnya yang paling mutakhir perlawan Din Minimi Cs yang secara nyata nan berani memproklamirkan “pemberontakannya” terhadap pemerintah Aceh yang sedang dikuasai oleh “mantan” pemberontak yang dulu pernah sama-sama berjuang bersama Din Minimi Cs, bahkan dalam berbagai kesempatan kita bisa melihat dengan jelas bahwa perlawanan yang dilakukan oleh Din Minimi Cs langsung ditujukan kepada mantan pimpinannya dan itu semua sesuai dengan pengakuan mereka dilakukan karena rasa ketidak-adilan.
Alhasil berbagai tanggapanpun bermunculan, ada yang bingung menghadapi Din Minimi Cs. Ada berspekulasi kembali menerapkan DOM di Aceh seperti yang pernah di utarakan oleh Menhan Indonesia, ada yang menawarkan dialog seperti yang dilakukan oleh DPR A, ada juga yang tak kalah garang dengan menawarkan jasa “Biar Kami yang hambo (baca: ringkus)" seperti yang pernah diutarakan salah satu pentolan KPA, selain itu Gubernur Aceh yang seyogyanya sangat bertanggung jawab atas semua ini “juga” berspekulasi untuk memerangi “pihak” yang berani menentangnya tersebut, Aceh siap perangi perusak damai kata gubernur, tinggal kita tunggu pernyataan sikap dari Wali Nanggroe yang sejatinya juga punya peran yang sangat besar dalam persoalan Aceh dengan segala kewenangan dan sejarah keterlibatannya dalam roda sejarah Aceh dan masih banyak spekulasi lainnya yang telah ikut memanaskan suasana damai yang baru 10 tahun dinikmati Rakyat Aceh. Pada akhirnya rakyat Aceh kembali dihantui rasa resah yang pernah menghinggapi Aceh puluhan tahun lamanya.
Terlepas dari berbagai tanggapan dan spekulasi yang bermunculan dari berbagai pihak, baik yang bijak ataupun yang tidak bijak sama sekali, menurut saya, benih konflik ini hanya bisa diredam dengan mewujudkan keadilan, karena tanpa keadilan dan kepedulian, usaha meringkus (yang dianggap) pengacau bukanlah jawaban. Kita harus menyadari perdamaian antara RI dan GAM yang ditandai dengan MoU Helsinki tidak hanya sekedar menghentikan perang yang telah memporak-porandakan tanah Aceh dan kehidupan setiap yang melata di atasnya, bukan sebatas mengambil alih pemerintahan dari tangan Jakarta, bukan sebatas gagah-gagahan dengan UUPA dan menikmati empuknya kursi DPRA tapi tujuan perdamaian adalah jauh lebih besar dari itu semua yaitu selain dihentikannya perang juga harus diarahkan untuk dapat memakmurkan, memajukan dan mensejahterakan kehidupan rakyat Aceh, sudahkah rakyat Aceh (semuanya) merdeka dari kemiskinan? Sudahkah rakyat Aceh (semuanya) memiliki pekerjaan yang layak dan memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? Sudahkah rakyat Aceh (semuanya) dapat menikmati pendidikan yang baik dengan segala fasilitasnya? Sudahkah rakyat Aceh (semuanya) mendapatkan pelayanan dan jaminan untuk dapat hidup sehat sebagaimana yang seharusnya? Atau lebih tegas lagi sudahkah rakyat Aceh (semuanya) hidup sejahtera, makmur dan mewah sesejahtera, semakmur dan se mewah kehidupan para penguasanya? Yang telah mereka pilih untuk menempati berbagai posisi terhormat di negeri ini, sungguh anda (penguasa) dipercaya karena mereka berharap anda lebih serius memikirkan nasib mereka dibandingkan para penguasa terdahulu (baca: Jakarta), jika tidak atau belum maka jangan heran ketika perlawanan itu kembali muncul.
Memang perdamaian adalah kebutuhan semua manusia dan juga tidak dapat dipungkiri bahwa peperangan akan selalu memberikan dampak yang tidak baik terhadap kehidupan rakyat, namun harus disadari bahwa ketidak-adilan akan selalu memicu perlawanan, Pemerintah Indonesia dilawan karena ketidak-adilan. Demikian juga Pemerintah Aceh dilawan karena hal yang sama. Tidak perlu berspekulasi untuk menjinakkan Din Minimi Cs tinggal upayakan saja kesejahteraan untuk semua (bukan hanya sebagian) rakyat Aceh, karena kesenjangan akan selalu mengundang kekisruhan baik dalam taraf sederhana berupa perlawan oleh kelompok tertentu maupun dengan skala yang lebih besar.
PEMERINTAH HARUS PEKA TERHADAP KEADAAN RAKYAT.
Melihat keberadaan sejumlah kelompok bersenjata di Aceh, yang melawan ketidak-adilan Pemerintah Aceh, kita berharap Pemerintah Aceh baik DPRA dan Gubernur dan Wagub Aceh ke depan bisa peka terhadap apa yang dirasakan rakyat Aceh dan bekerja lebih serius demi kemakmuran Aceh agar ke depan di Aceh tidak ada lagi kekecewaan yang berujung pada kasus penembakan, penculikan dan kasus kasus lainnya sehingga di Aceh tidak kembali terjadi konflik dan Aceh bisa lebih baik dari hari ini sesuai dengan yang dicita-citakan. Karena jika Pemimpin cuek atau tetap berfikir hanya untuk golongan tertentu saja maka perlawanan akan selalu muncul, meskipun dengan cara yang bervariasi, ada yang melawan secara sopan melalui jalur yang demokratis, ada juga yang melawan dengan cara yang lebih keras dengan cara yang anarkis atau bahkan ada yang angkat senjata.
Kadang kita baru tersadar ketika keadaan terlanjur memburuk, "wate ka lheuh teu cureh muka", kalau hanya melalui demo dan kritik secara demokratis tidak dihiraukan. Intinya supaya Aceh jadi lebih baik tidak ada cara lain selain kita berfikir bersama-sama untuk kepentingan bersama dengan tidak ada yang merasa diri paling berhak. Silakan saja "sok" atau pura-pura "Acuh" tapi waktu akan memaksa kita untuk buka mata, telinga dan hati. Bukan cuma sebatas berbicara semata untuk kepentingan bersama tapi "tujuannya" untuk pribadi atau kelompok.
Semoga kita semua bisa belajar banyak dari apa yang sudah kita hadapi sehingga ke depan Aceh jadi lebih baik.
Tapi...Ntahlah...Terlalu banjak janji yang tak terpenuhi.
Artikel Terkait:
2014 ACEH MASIH JALAN DI TEMPAT
ACEH DIBWAH CENGKRAMAN KRONOLOBY RAJA HOE-HOE
Artikel Terkait:
2014 ACEH MASIH JALAN DI TEMPAT
ACEH DIBWAH CENGKRAMAN KRONOLOBY RAJA HOE-HOE
No comments:
Post a Comment