Friday, July 31, 2015

KOMUNIS ATAU KAPITALIS MUSUH UTAMA KITA?

Salah Menentukan Musuh Utama: Antara Hiu-hiu Lapar di Sekeliling Perahu (Kapitalis) dan Ular di Bawah Karang (Komunis).



SETIAP sudut pandang yang digunakan untuk menyikapi sebuah perkara akan menghasilkan konsekunsi-konsekuensi tertentu. Jika sudut pandang yang dikemukakan saling berseberangan, sesuai latar belakang, selera, dan kepentingan pengamatnya, niscaya menghasilkan ketegangan di antara mereka yang memberi perhatian terhadap perkara tersebut. Di tengah perselisihan itu, lantas lahir koreksi. Namun koreksi bukan puncak diskursus karena ia bisa saja malah membuat perselisihan terus berlanjut bahkan semakin lebar. Meski demikian, seharusnya tak perlu sungkan menganjurkan wacana atau sudut pandang alternatif yang dirasa manjur-korektif.

Dari sudut pandangnya orang-orang memutuskan situasi seperti apa yang harus dicegah-dilawan dan didukung-dilestarikan. Termasuk dengannya mereka mengidentifikasi dan menentukan siapa yang menjadi musuh dan teman. Posisi pemikiran menentukan posisi tindakan. Dan tidak mungkin setiap pihak bisa menghindar dari keharusan menentukan sikap seperti ini karena didukung dan diancam adalah dua ketentuan di dalam hidup para makhluk. Setiap orang akan punya musuh! Dan kenyataannya bahkan lebih rumit lagi: ternyata kita tidak hanya dimusuhi dan bermusuhan dengan satu pihak saja.

Tidak ada komune yang memiliki musuh tunggal. Hidup sekelompok kecil manusia yang tinggal di hutan pedalaman berada di tengah ancaman hewan buas dan situasi lingkungan yang keras. Sementara itu, dari arah sebelah, mereka juga diancam oleh komune lain yang hendak memperluas wilayah kekuasaannya. Pada saat yang sama, komune-komune tradisional yang saling mengancam itu terancam oleh tekanan industrialisasi. Akan datang para hartawan yang ingin mengalirkan modal barunya (modal yang diambil dari profit bisnis sebelumnya) ke ladang investasi baru setelah mereka mendapatkan lisensi dari pemerintah untuk membabat hutan, mencaplok tanah adat, dan menggusur perkampungan penduduk.

Ketika para pengancam datang dari berbagai sisi, cukup penting menentukan mana yang paling mengancam dan susah dikalahkan. Musuh utama harus dikenali sesegera mungkin karena ancaman yang hendak diperlihatkannya sudah semakin dekat, atau bahkan tengah berlangsung. Musuh utama adalah yang sedang menebar kerusakan nyata.

Salah menentukan musuh, terlebih musuh utama, bisa membahayakan hidup. Kesalahan ini diawali dari kesalahan dalam memilih dan menggunakan sudut pandang untuk menyikapi perkara yang dimaksud. Pengoreksian terhadap cara berpikir yang keliru bisa menyelamatkan hidup banyak orang yang telah diperdaya sehingga merasa tiada yang salah dengan kemelaratan  dan kerusakan di sekitar mereka.

Propaganda Antikomunisme

Baru-baru ini beberapa tokoh agama cukup sibuk menyuarakan jargon “Awas Bahaya Laten Komunisme!” yang disampaikan lewat beberapa media. Mereka menempatkan komunisme sebagai musuh nomor satu bagi semua orang saat ini, yang akan mengancam masyarakat, negara, dan eksistensi agama. Untuk meyakinkan khalayak bahwa saat ini komunisme sedang dibangkitkan secara diam-diam, dikemukakanlah beberapa kasus yang mereka anggap sebagai gejalanya. Setidaknya ada lima kasus mutakhir dijadikan dasar keyakinan mereka.

Pertama, seperti dikatakan seorang ustaz, “saat ini akan diadakan pendidikan Marxis 2015 dengan materi Das kapital dan Manifesto Komunis yang akan dilaksanakan di Bogor”. Kedua, dimasukkannya Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2015. Selama ini tuntutan pengesahan RUU tersebut paling getol disuarakan oleh para aktivis kemanusiaan bersama mereka yang mengalami penyiksaan sadis di era kekuasaan Soeharto karena dituduh berhubungan dengan PKI. Ketiga, isu penghapusan kolom identitas agama di kartu tanda penduduk. Keempat, perampasan tanah penduduk di beberapa daerah. Kelima, dan ini cukup konyol, beredarnya foto Putri Indonesia 2015 Anindya Kusuma Putri yang memakai baju bergambar palu-arit.

Sekarang marilah kita membahas dan membantah alasan konyol tersebut satu per satu: (i) Masalah pendidikan Marxisme di Bogor, tidak disebutkan siapa penyelenggaranya.  Lagian pendidikan Marxisme sudah ada sejak beberapa tahun belakangan setelah Soeharto berhasil ditumbangkan. Yang digagas tahun ini bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Sejak lebih dari satu dasawarsa terakhir sudah banyak forum-forum resmi (termasuk Sekolah Marxisme) yang mendiskusikan pemikiran Marx. Dan tak terhitung sudah berapa banyak diskusi-diskusi informal, misalnya di kantin kampus atau sekretariat organisasi, yang membedah Marxisme sambil minum serbat. Sejak diskusi-diskusi Marxis berjamuran di era Reformasi dan buku-buku Kiri diterjemahkan lalu dicetak dalam jumlah yang cukup banyak, komunisme masih belum menguasai Indonesia, belum berhasil merebut kekuasaan negara dari kendali kelas pemodal; (ii) Sama halnya dengan buku-buku Marxisme, baju-baju bergambar wajah Karl Marx, tokoh-tokoh Kiri lainnya, kutipan dari pernyataan mereka, hingga lambang palu-arit pun sudah banyak dijual dan dipakai selama ini. Lagian, dengan memakai baju seperti itu apakah seseorang dapat begitu saja dianggap sudah memahami dan menganut Marxisme? Sama halnya dengan pemakai serban yang tidak serta-merta bisa dianggap seorang agamawan karena bisa saja ia ternyata penjahat yang sedang menyamar. Atau anggap saja Anindya paham dengan lambang di bajunya itu dan pernah membaca dan mendiskusikan komunisme. Namun apakah dia seorang tokoh Kiri ternama yang memiliki pengaruh kuat untuk menggerakkan massa (kelas pekerja) dalam sebuah revolusi komunis?; (iii) Tujuan komunisme, berdasarkan manifestonya, adalah menghapus penindasan oleh kelas pemodal yang tamak dan menciptakan sistem produksi yang adil. Strategi perjuangannya disusun untuk mengupayakan keadilan bagi kaum papa. Komunisme digagas bukan untuk memperjuangkan hal remeh-temeh seperti penghapusan kolom agama di kartu identitas warga negara. Itu tak ada kaitannya dengan penyejahteraan; (iv) Perampasan tanah orang-orang miskin justru merupakan praktik di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Komunisme memang tidak menghendaki adanya kepemilikan pribadi. Ttanah-tanah para juragan harus dirampas lalu dikuasai oleh negara. Namun kasus yang diungkit oleh tokoh agama tersebut adalah perampasan tanah oleh kapitalis, bukan negara. Penguasaan oleh negara baru bisa diwujudkan setelah negara komunis berdiri, bukan sebelumnya. Jadi ketika kasus perampasan lahan penduduk dijadikan salah satu pertanda kebangkitan komunisme, itu sama sekali tidak tepat; (v) Dan tuduhan sebagai pembangkit komunisme terhadap orang-orang yang mendesak pengesahan RUU KKR sama sekali tak manusiawi. Ini tuduhan yang zalim. Tokoh-tokoh agama itu patut dicurigai sebagai alat kelas pemodal dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang terusik dan merasa akan terancam posisi serta nama baiknya jika RUU tersebut disahkan. Agama bisa diperalat penjahat untuk melindungi dirinya.

Para ideolog telah berulang kali meluruskan pandangan keliru orang-orang terhadap komunisme. Saya tak perlu mengulangnya di sini. Pandangan keliru tersebut biasanya memosisikan komunisme bukan sebagai ideologi ekonomi tetapi paham yang menentang agama dan hendak menghapusnya dari kehidupan manusia. Bagi mereka, term “komunisme” adalah sinonim dari “ateisme”.

Di samping itu, tetap ada agamawan yang mengkritik komunisme secara objektif. Mereka mampu mengulas ketidaksetujuannya secara jernih. Komunisme dikritik berdasarkan kelemahan teoretisnya. Karena objektif, mereka mengakui ada poin-poin tertentu di dalam Islam yang bersesuaian dengan komunisme, lainnya bertentangan. Kritikus objektif ini biasanya lebih suka berbicara tentang kelemahan sistemis komunisme ketimbang hasutan-hasutan terhadapnya yang tidak berdasar. Oleh karena mau melihat ketegangan antarideologi secara jernih, maka ketidaksetujuan mereka terhadap komunisme bukan berarti kesediaan untuk menerima kesimpulan bahwa saat ini komunisme adalah musuh utama semua orang Indonesia.

Jika umat Islam tak ingin terperdaya, maka kampanye antikomunisme yang belakangan aktif digalakkan harus diwaspadai. Namun cukup perlu diperjelas juga bahwa tidak semua yang menentang propaganda antikomunisme adalah pembela komunisme. Dan tidak harus pula menjadi pembela atau penganut komunisme untuk menolak propaganda tersebut. Kita tidak sedang berbicara tentang melindungi nama baik komunisme, tetapi menghindari perlawanan yang salah sasaran.

Sekelompok pelancong sedang berada di atas sebuah perahu yang sudah terkatung-katung di tengah lautan selama beberapa hari. Beberapa ekor hiu lapar sedang mengitari perahu mereka dan sudah menerkam sejumlah orang. Namun tiba-tiba terdengar teriakan dari beberapa penumpang bahwa seekor ular yang sedang bergerak-gerak di bawah batu karanglah yang paling mengancam mereka di saat itu. Penumpang kapal yang sudah lemas dan irasional diajak menyelam untuk menangkap dan membunuh ularnya. Apa yang kemudian terjadi dapat Anda bayangkan.

Suara lantang para propagandis berserban itu dipekikkan di tengah-tengah situasi di mana kapitalisme semakin mencengkeram negara. Mereka lebih suka berspekulasi dengan “bahaya laten komunisme” ketimbang melihat dan melawan bahaya yang sudah tampak di depan matanya. Padahal kapitalisme terbukti telah menebar kehancuran di mana-mana. Pemodal-pemodal tamak adalah musuh utama bagi orang-orang yang ingin mempertahankan kedaulatan negara dan kelestarian alam. Dan para pemodal itu tidak sedang menebar bahaya laten karena mereka bertindak secara terang-terangan. Mereka adalah hiu-hiu kelaparan yang mengharamkan dirinya kenyang. Kepada penerusnya, setiap kapitalis akan berkata: “Haram bagi kita untuk merasa cukup”.

Musuh besar di depan mata

Tokoh Muslim yang mau melihat persoalan secara jernih mungkin tetap akan memosisikan komunisme sebagai musuh, tetapi bukan musuh utama. Dan mereka juga memandang pembalikan keadaan, dari kapitalisme ke komunisme, sulit diwujudkan. Dengan demikian, cara berpikir tokoh kolot yang menempatkan kapitalisme sebagai musuh nomor dua dan komunisme nomor satu akan dianggap keliru.

Termakan propaganda murahan tersebut bisa membahayakan umat. Kesalahan menentukan musuh utama akan membuat khalayak terkelabui. Pranata ekonomi yang eksploitatif akan semakin terkonsolidasi karena tak tersentuh kritik dan perlawanan umat beragama. Para pemodal bisa leluasa melakukan praktik-praktik ekonomi yang bertentangan dengan ajaran agama dan merugikan umatnya. Perhatikan ilustrasi berikut:

Di sebuah tempat:

Kapitalis A: Di masa mendatang harus ada tokoh dari persekutuan kita jadi presiden.
Kapitalis B: Siapa kira-kira?
Kapitalis C: Si Fulan saja.
Kapitalis A dan B: Setuju dengan usulanmu!

Di tempat lain:

Tokoh Muslim A: Kita harus membuat sebuah gerakan penentangan.
Tokoh Muslim B: Gerakan menentang siapa?
Tokoh Muslim C: Gerakan ganyang komunis.
Tokoh Muslim A dan B: Setuju dengan usulanmu!

Persekongkolan antara pemodal dengan tokoh agama dibangun untuk mencegah umat memiliki kesadaran kritis yang tepat sasaran. Propaganda antikomunisme ini adalah proyek penyesatan pandangan umum. Bahkan ada media Islam yang menyiarkan berita bahaya laten komunisme dengan menggunakan pendapat Tommy Soeharto, seorang kapitalis muda yang juga anak “jenderal jagal besar”. Dan belakangan ini dia mulai dikabarkan akan menjadi salah satu calon presiden di Pemilu 2019 nanti. Inilah salah satu ancaman nyata kita.

Dengan dalih agama sedang terancam, kita diminta fokus pada komunisme. Kapitalisme adalah musuh besar komunisme. Dan kebanyakan tokoh-tokoh agama memandang komunisme adalah musuh Islam. Namun sebagian dari mereka berkata kepada para kapitalis, “Musuh dari musuhku bisa menjadi temanku”. Lalu bertemanlah pemodal dan tokoh agama. Setelah berhasil mencemari agama, kekuasaan pemodal pun semakin kuat karena sebelumnya telah berhasil membangun persekongkolan dengan elite politik. Sementara mereka bertiga sedang berunding sambil mengisap cerutu di ruang rapat, massa yang sudah terperdaya pun sibuk meneriakkan “komunisme haram hukumnya” di bawah terik matahari.

Umat Muslim akan terus lemah jika tidak menyuarakan perlawanan terhadap kapitalisme. Kesadaran seperti inilah yang harus dimiliki. Jika tidak mewaspadai dan melawan propaganda konyol tersebut, Islam akan dihancurkan. Lagian, salah menentukan musuh bisa berujung pada tindakan yang menghancurkan teman sendiri.

PENULIS: Bisma Yadhi Putra Seorang penulis sekaligus analis politik muda berbakat di Aceh.

No comments:

Post a Comment