PP Disahkan, Ini Kewenangan Pemerintah Bersifat
Nasional di Aceh
Ini adalah pengkhinatan yang kesekian atas
perjuangan dan pengorbanan rakyat Aceh selama puluhan tahun, dengan korban
nyawa yang tak terhitung, belum lagi dihitung korban harta, tenaga dan “kesempatan
generasi Aceh” untuk hidup normal.
Memang Indonesia begitu licik dalam memainkan
strategi politik dalam menghadapi “kelengahan” Aceh, Akhirnya RPP yang ditunggu tunggu rakyat
Acehpun jadi PP ini ditanda tangani oleh Presiden Indonesia, sepintas ini
adalah jawaban dari penantian lama yang membutuhkan waktu sepuluh tahun setelah
berakhirnya perjuangan bersenjata selama
tiga decade lebih. Namun apa dinyana, pemerintah Indonesia ternyata sangat
mahair dalam memainkan strategi untuk memenangkan dan mengamankan kepentingan
Indonesia di Aceh. Bagaimana tidak, dari “begitu besar” harapan yang digantungkan
rakyat Aceh untuk dapat menerima secepatnya pengesahan PP tersebut sisa-sisa, butuh
waktu sepersepuluh Abad untuk menaanti regulasi yang masih digantung oleh
pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan semua hasil kesepakatan atau MoU
antara para pihak yang berunding di Helsingki 2005 silam, ternyata hanya
pepesan kosong malah bisa dikatakan sama sekali tidak bisa diharapkan
memberikan dampak bagi perubahan “besar” di Aceh, hal ini salah satunya bisa
dilihat Pasal 2 PP itu menegaskan,
pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan di Aceh. Hampir tidak ada yang bisa dikatakan Aceh
istimewa atau Aceh mendapatkan sesuatu yang lebih disbanding provinsi lain di
Indonesia.
Sebagaimana diberitakan republika.co.id
Presiden
Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) 3/2015 tentang
kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh pada 12 Februari 2015.
PP tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan
untuk memberikan kepastian, kejelasan, dan landasan hukum dalam
menyelenggarakan kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh. PP itu
juga untuk melaksanakan ketentuan Pasal 270 Ayat (1) UU 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Dikutip dari laman setkab.go.id, Pasal 2 PP itu
menegaskan, pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan di Aceh. Hal itu meliputi; urusan politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional; Urusan tertentu dalam bidang
agama; dan urusan pemerintahan yang bersifat nasional di Aceh.
“Kewenangan pemerintah khusus untuk urusan
keamanan menyangkut pengangkatan Pejabat Kepala Kepolisian Daerah, dan urusan
yustisi menyangkut pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Aceh dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 3 PP
tersebut.
Sedangkan kewenangan Pemerintah yang bersifat
nasional meliputi; Pendidikan; Kesehatan; Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang;
Perumahan dan Permukiman; Keamanan dan ketertiban umum serta perlindungan
masyarakat; Sosial; Tenaga kerja; Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
Pangan; Pertanahan; Lingkungan hidup; Kependudukan dan catatan sipil.
Selain itu, kewenangan pemerintah lainnya
meliputi; Pemberdayaan masyarakat dan gampong; Pengendalian penduduk dan
keluarga berencana; Perhubungan; Komunikasi dan informatika; Koperasi dan usaha
kecil dam menengah; Penanaman modal; Kepemudaan dan keolahragaan; Statistik;
Persandian; Kebudayaan; Perpustakaan; Kearsipan; Kelautan dan perikanan;
Pariwisata; Pertanian; Kehutanan; Energi dan sumber daya mineral; Perdagangan;
Perindustrian; dan Transmigrasi.
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015
itu menegaskan, kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional dalam urusan
energi dan sumber daya mineral pada sub bidang minyak dan gas bumi hanya untuk
kegiatan usaha hilir.
Adapun kewenangan Pemerintah dalam urusan
pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral pada sub bidang minyak
dan gas bumi untuk kegiatan usaha hulu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
tersendiri mengenai pengelolaan bersama minyak dan gas bumi di Aceh.
Sumber: republika.co.id
Memang benar pernyataan Muzakkir Manaf bahwa Perjuangan ini belum selesai, tapi sayangnya sebahagian pihak mulai terlena untuk menikmati hasil “minim” berupa jabatan dan sedikit kekayaan yang merupakan hasil dari perjuangan yang begitu melelahkan dengan pengorbanan yang tak terhitung. Lebih tragis lagi ada pihak yang seperti tanpa beban melenggang dengan begitu santai atas kecolongan ini, bahkan dengan segala dalih manipulative mereka terus berspekulasi bahwa “kita telah” memenangkan setengah apa yang kita [erjuangkan, dan perjuangan harus dilanjutkan, sementara nyatanya mereka hanya mencoba mememfaatkan keadaan!
Pertanyaannya apakah para pihak di Aceh telah
mencermati isi PP ini? Kemudian apakah sesuai dengan MoU yang telah
ditandatangani? Lantas jika tidak sesuai langkah apa yang akan ditempuh? Jika tidak
ini sama artinya dengan “mengangkat” bendera putih!
No comments:
Post a Comment