Monday, February 2, 2015

Politik: Ideologis Vs Pragmatis.

Oleh: Azhari 

Kata ideologis dan pragmatis seringkali diadu, sekilas bahwa Partai Islam Ideologis digambarkan sebagai partai yang konsisten dan kadang-kadang terkesan kaku serta tidak pernah mau bergeser dengan metoda perjuangannya. Sedangkan Partai Islam Pragmatis bersikap moderat, realistis dan selalu memanfaatkan setiap peluang yang yang ada untuk kepentingan partainya. Sehingga, Partai Islam Ideologis akan akan tenggelam dalam pemberitaan dan jarang dipublikasikan, sedangkan Partai Islam Pragmatis akan selalu tampil didepan dalam setiap peristiwa-peristiwa yang disorot media, sehingga dianggap partai yang sangat peduli dengan masalah-masalah umat.

Pragmatis sering juga diberikan istilah realistis atau dalam bahasa Arab disebut Waqi’iyah dan penganutnya disebut Waqi’yin, adalah orang-orang yang sangat realistis dalam melihat fakta, menerimanya dengan pasrah, seolah-olah realitas tidak bisa ditolak.

Waqi’yin menggunakan realitas sebagai sumber pemikirannya dan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Padahal seharusnya “Realitas itu dipakai sebagai obyek berfikir bukan sebagai sumber berfikir”, sangat berbahaya jika realitas dijadikan acuan berfikir karena akan mengakibatkan hukum syara’ disesuaikan dengan realitas tersebut atau mencocok-cocokkan hukum syara’ terhadap realitas yang ada. Padahal hukum syara’ tidak akan berubah akibat perubahan waktu dan tempat.

Laayunkaru tagayyurul ahkami bitagayyurizzamaani; Tidak bisa adanya perubahan hukum karena adanya perubahan zaman.

Untuk lebih mudah memahami Pragmatis (waqi’iyah) ini, dapat diberikan contoh sebagai berikut; Pemerintah Daerah (Pemda) memberikan uang suap kepada anggota DPR, anggota DPR dari Partai Islam yang amanah menolak uang suap tersebut dan bingung mau diapakan uang suap tersebut. Akhirnya diputuskan, karena uang tersebut berasal dari pajak rakyat maka seharusnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk bantuan. Padahal menurut syara’, karena pemilik uang adalah Pemda maka harus dikembalikan kepada Pemda. Waqi’yin berargumen, bahwa jika dikembalikan kepada Pemda sudah tidak ada pos-nya dan dikhawatirkan dikorup oleh pegawai Pemda.

Inilah yang disebut realitas menjadi obyek berfikir bukan sebagai sumber berfikir, artinya ada realitas kemudian dicarikan dalil syara’ untuk menghukuminya. Seharusnya, ada realitas (al-waqi’), dipahami realitas itu (tahqiq al-manath), kemudian digali dalil syara’ (istinbath) untuk menghukuminya.

Ideologi (mabda’) adalah pemikiran mendasar (aqidah) yang melahirkan peraturan. Jika sebuah pemikiran tanpa peraturan maka ia bukanlah ideologi tetapi disebut filsafat. Seperti kita ketahui, saat ini terdapat 3 ideologi besar didunia; Islam, Kapitalisme dan Sosialisme. Mungkin ada ideologi-ideologi lain, tetapi kemungkinan besar akan bermuara kepada 3 ideologi besar tersebut, semisal komunisme merupakan bagian dari sosialisme atau demokrasi merupakan bagian dari kapitalisme.

Dari uraian singkat diatas, mudah-mudahan dapat dipahami beda antara ideologis dan pragmatis. Mari kita analisa perbedaan antara Partai Islam Ideologis dan Pragmatis. Meskipun banyak perbedaannya, kita batasi dalam 3 hal saja yakni: Mabda’, fikrah dan thariqah; keanggotaan partai dan aktifitas sosial.

Mabda’, fikrah dan thariqah
Sebuah partai dapat dipastikan mempunyai asas/ideologi (mabda’) yang akan menaungi pemikiran-pemikiran (fikrah) dan metode penerapan (thariqah).

Partai Islam Pragmatis yang dengan enteng bisa saja menyatakan: “Ya… kami Partai Islam dan berideologikan (asas) Islam!”. Tetapi saat dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya: “Bagaimana fikrah dan thariqahnya?”, mulailah timbul permasalahan. Bagaimana pemikiran-pemikiran Islam dalam memecahkan masalah-masalah umat, dalam hal ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dll? Apa institusi yang menaungi penerapan syari’at Islam itu? Mereka akan kesulitan menjawabnya, karena asasnya boleh saja Islam tetapi fikrah dan thariqahnya masih samar (syibh ghamidah) atau kabur (ghamidah), atau bisa jadi masih tercampur dengan ideologi asing yang bertentangan dengan Islam.

Partai yang mengambil fikrah Islam tetapi mengabaikan thariqahnya, maka fikrah Islam yang diadopsinya hanya akan menjadi filsafat khayali belaka.(2, hal 46)

Partai Islam Pragmatis juga terkesan sangat kompromistis dengan sistem yang ada, ia bisa saja melakukan tawar menawar (kompromi) dengan penguasa atau berkoalisi dengan partai-partai yang berbeda haluan perjuangan dengan mereka. Hal ini dilakukan dengan dalih, memanfaatkan semua peluang da’wah yang ada.(2, hal 17)

Mustafa Masyhur (mantan Mursyid Aam Ikhwanul Musimin) mengkritiknya:
“Orang-orang tersebut kadang-kadang membenarkan sikap ambisi pribadinya, dengan dalih kemaslahatan da’wah atau umat; bukan untuk kepentingan pribadi. Misalnya, keikutsertaan dalam suatu pemerintahan thaghut (pemerintah yang tidak menjalankan hukum Islam), semata-mata untuk kepentingan Islam. Ia menganggap perbuatannya itu sebagai taktik da’wah, bahkan ia menuduh orang lain terlalu picik dalam menilai kemaslahatan da’wah. Seandainya disitu ada nilai kemaslahatan, apakah hanya dirinya saja yang berhak menilai?”(5, hal 23)

Sebuah Partai Islam Ideologis, berasaskan Islam (mabda’) yang menggabungkan antara fikrah dan thariqah secara terpadu. Ideologinya Islam. Sebab, Islam pada hakikatnya adalah sebuah aqidah yang melahirkan peraturan untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat manusia, serta merupakan pemecahan seluruh masalah kehidupan. (1, hal 5)

Sehingga sebuah Partai Islam Ideologis, mempunyai fikrah (pemikiran-pemikiran pemecahan masalah kehidupan) untuk menerapkan hukum Allah (syari’at Islam) dalam seluruh sisi kehidupan dan tolok ukurnya (masdar al-fikr) halal dan haram. Penerapan syari’at ini, hanya dapat ditegakkan dalam sebuah institusi Khilafah Islamiyah/Daulah Islamiyah, inilah thariqah, yakni bagaimana mengemban risalah da’wah.

Karena, mustahil menerapkan hukum hudud dalam negara demokrasi yang berlandaskan HAM. Mengharuskan menutup aurat (jilbab) dalam negara demokrasi yang memberikan kebebasan dalam berperilaku (freedom of personal). Mengharamkan usaha judi, khamr, dan riba dalam negara demokrasi yang memberikan kebebasan berkepemilikan (freedom of ownership). Menghukum mati para murtadin (keluar dari Islam) dalam negara demokrasi yang memberikan kebebasan beragama (freedom of religion), dan lain sebagainya.

Keanggotaan partai
Partai Islam Pragmatis akan berusaha semaksimal mungkin untuk meraih anggota dan massa sebanyak mungkin, agar dapat memenangkan Pemilu dan menguasai kursi DPR lebih banyak. Segala cara dilakukan; dengan membagikan brosur, pamflet, membuka pendaftaran anggota, membuat kartu anggota, merekrut tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh, dll. Dan setelah itu diharapkan mereka menjadi pemilih setia partai.

Partai Islam Pragmatis biasanya mereka mencari orang-orang yang memiliki kedudukan, terkenal dimasyarakat, gelar akademis yang banyak, terpandang, kaya dan status sosial tinggi lainnya. .(1, hal 25)

Sehingga anggotanya sangat beragam, bisa jadi mempunyai haluan yang sangat berbeda dengan ideologi Islam (sekuler) atau bahkan orang kafir sekalipun akan diterima jika ada nilai maslahatnya. Sebaliknya, anggota partai ini mengharapkan peningkatan status sosial dengan bergabung partai tersebut. Jika harapannya tidak terpenuhi, maka ia akan loncat ke partai lain atau membuat partai sendiri.

Aktifitas seperti ini dikrtitik oleh Almarhum Mustafa Masyhur (mantan Mursyid Aam IM):

“Maksud mengikuti partai politik disini: mendudukkan politik sebagai panglima dalam cara kerja. Sehingga, politik menggeser yang lainnya; seperti pembinaan penyebaran da’wah dan jihad; menitik-beratkan pada faktor kuantitas (bukan kualitas). Sebagaimana biasa dilaksanakan partai politik. Tujuannya mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya didalam pemilihan umum, demonstrasi dan semacamnya. Hal ini merupakan penyimpangan yang membahayakan asas bangunan. Sasaran kita bukan sekadar mencari orang yang mau memberikan suaranya didalam pemilihan umum. Tetapi, pada dasarnya kita menginginkan orang yang siap mengorbankan jiwa dan hartanya dijalan Allah”. (5, hal 46)

Hal ini dibuktikan oleh IM dengan mengirim mujahidin Ikhwan dalam perang Arab – Israel, mujahidin Ikhwan ini sangat ditakuti oleh Yahudi laknatullah, karena mujahidin Ikhwan merindukan kematiaan disaat musuh Allah menginginkan kehidupan dan kenikmatan duniawi. Sesuai semboyan mereka: “Hidup mulia atau mati syahid”. Subhanallah.

Sehingga, seorang anggota partai bukan hanya sekedar mengisi formulir, memperoleh kartu anggota, baju seragam, topi seragam dan selalu datang setiap acara-acara partai dengan menggunakan atribut partai. Sebuah Partai Islam Ideologis akan membina aqidah kader partai, kader ini menjadi anggota disaat telah menghujam ide-ide Islam kedalam dirinya, mengalir dalam darahnya, sehingga ia seperti Islam yang berjalan. Ia siap berkorban waktu, harta, tenaga dan fikirannya demi tegaknya agama Allah dimuka bumi. (4, hal 33)

Ikatan yang paling kuat dari keanggotaan partai, adalah ikatan aqidah. Jika ia terikat secara aqidah, maka ia tidak mempedulikan siapa tokoh yang bernaung didalam partai, terkenal atau tidak, bergelar atau tidak. Ia tidak menginginkan keuntungan materi dari partainya, menginginkan jabatan dalam partai, parlemen atau pemerintahan. Ia juga tidak mempedulikan ancaman penguasa terhadap partai, ia tidak akan surut selangkah terhadap ancaman dan penganiayaan.

Ikatan aqidah ini akan mengikat dan menyatukan seluruh anggota partai. Tujuan mereka sama, langkah dan geraknya sama dan rencana kerja mereka ditengah masyarakat juga sama. (2, hal 20) Partai Islam Ideologis, bagaikan serombongan orang yang ditanyakan tujuannya, hampir serempak orang-orang itu menjawab dengan kompak: “Kami mau ke Bandung untuk menghadiri Walimah ‘urusy sahabat kami, kami berangkat menggunakan bis dan melewati Puncak agar kami bisa juga menikmati keindahan alamnya”. Bukannya menjawab dengan kebingungan: “Gppp…. kami mau ke Bandung, tetapi mau ngapain ya..?, naik apa ya…? lewat mana ya..?, begitulah analogi Partai Islam Pragmatis.

Ikatan aqidah jugalah yang menyatukan jama’ah Rasulullah, dimana kafir Quraisy memberikan gelar kepada kelompok ini Hizbul Muhammad (Partai Muhammad), Rasulullah tidak membedakan Umar yang Arab, Salman yang Persi, Bilal yang Habasyah (Negro) dan Shuhail yang Rumawi. Tidak ada bedanya antara kulit putih, coklat, merah atau hitam. Semua sama dan bersatu dalam ikatan aqidah!. Bukan berdasarkan nasionalis/kebangsaan, suku (ashabiyah), patriotis atau maslahat!.

Aktifitas sosial
Partai Islam Pragmatis, selalu tampil didepan dalam menghadapi masalah umat, mendirikan posko, yayasan, sehingga partai terkesan reaktif, yakni merespon apa saja yang terjadi dimasyarakat, karena ia tidak mampu mendeskripsikan dengan jelas metode perjuangan yang harus ditempuh.(2, hal 16)

Sebuah partai bukanlah sebuah toko kelontong yang menjual segala macam barang; ada kosmetik, buku, sandal, obat, kebutuhan kamar mandi, alat memancing, pakaian dalam, bahkan alat untuk berjudi. Ini istilahnya LOGADA (Loe minta gua ada). Partai bukan juga seperti negara yang mengurusi banyak hal, pendidikan, yayasan sosial, baitul mal, kesehatan, olah raga, kepanduan, dll.

Aktifitas sosial ini boleh saja dilakukan oleh individu partai, bukan oleh partai sebagai kutlah (kelompok), tetapi (aktifitas sosial ini) tidak akan memberikan kontribusi apa-apa terhadap kebangkitan Islam (an-nahdah). Malahan, makin menjauhkan umat dari kebangkitan Islam, karena melenakan mereka dari persoalan yang sebenarnya, dari akar masalahnya (root cause)!

Misalnya begini, pada saat ada pelacuran disekitar pemukiman masyarakat, partai mengajak masyarakat berdemo agar Pemda membuat lokalisasi khusus bagi penjaja kenikmatan sesaat ini. Memang partai terlihat peduli dengan kepentingan umat, tetapi sebetulnya memperparah keterpurukan umat dan menjauhkan pemahaman umat dari Islam. Karena seharusnya mereka diberikan pemahaman bahwa Islam mengharamkan zina, mau didepan hidungnya (sekitar pemukiman) atau dibelakang kepalanya (lokalisasi). Sehingga aturan yang berlaku (sistem) yang harus diubah, bukan tambal sulam, menyelesaikan masalah tetapi menimbulkan masalah baru.

Begitu juga bantuan-bantuan sosial terhadap masyarakat miskin, mereka ini mengalami kemiskinan secara struktural. Sehingga saat diberikan bantuan, memang akan mengatasi masalah mereka untuk sesaat tetapi masalahnya tetap akan berulang kembali. Akar masalahnya kembali kepada sistem, yakni ekonomi yang berlandaskan riba, pengelolaan kekayaan umum (hasil bumi), korupsi yang merajalela, penyediaan lapangan kerja, pengaturan pertanahan, dll.

Aktifitas ini memang ada maslahatnya, tetapi mudharatnya lebih besar. Ini bagaikan sebuah gunung es, permasalahan yang terlihat adalah puncak gunungnya saja sedangkan masalah yang sebenarnya sangat besar. Akibatnya, umat akan lupa penderitaan yang dialaminya, kedzaliman yang diterimanya dan kelalaian penguasa dalam mengurusinya. (3, hal 105)

Partai Islam Pragmatis akan disibukkan mengurus aktifitas sosial, dengan membawa-bawa spanduk, bendera-bendera, kantong-kantong bantuan berlabelkan partai atau panitia-panitia penyalur yang berkaoskan simbol partai. Jika begini, partai menjadi tidak fokus dengan perjuangannya, energi (fikiran, tenaga dan dana) partai terkuras, mengaburkan pemahaman umat dan akan meredam perasaan umat untuk bangkit (an-nahdah).

Realitas yang rusak ini, jika tidak ditutup-tutupi dengan berbagai aktifitas itu, akan memberikan kesadaran dan perasaan umat untuk bangkit dari keterpurukan dan akan berubah menjadi sebuah pemikiran. Berikutnya, pemikiran umat akan memilih alternatif-alternatif sistem yang ada, maka umat akan sadar, mereka telah melihat betapa jahatnya ideologi sosialis/komunis, mereka telah mengalami bobroknya ideologi kapitalis/sekuler yang menyengsarakan mereka, maka ideologi Islam satu-satunya pilihan mereka dan telah terbukti berhasil diterapkan ratusan abad.

Partai Islam Ideologis mempunyai ideologi (mabda’), mempunyai fikrah dan thariqah untuk merealisasikan tujuannya itu. Ia harus konsisten menjalankan fikrah dan thariqahnya, tidak akan menyimpang sejengkalpun dari perjuangannya, apapun godaannya dan apapun penganiayaan yang diterimanya. Pilihannya ada dua, berjuang hingga tujuan tercapai atau binasa karenanya. Ia juga menetapkan beberapa uslub (cara) dan wasilah (sarana) dalam gerak langkah, uslub dan wasilah ini dapat saja berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, tetapi fikrah dan thariqah tidak boleh diubah.

Tanggung jawab dan wewenang pemeliharaan urusan umat ini sepenuhnya ada pada negara (ri’ayatusy-syuun), sedangkan aktifitas sosial kemasyarakatan dilakukan oleh individu-individu masyarakat yang mampu, dalam istilah fiqih ini disebut “Fi’lul khairat”.(3, hal 110)

Imam (Khalifah) adalah sebagai penjaga dan pengawas. Dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya (HR Bukhari, Muslim, Imam Ahmad dan At-Tirmidzi). 
Secara pribadi anggota Partai Islam Ideologis ikut membantu masalah sosial umat, karena mereka tidak boleh ekslusif ditengah umat. Tetapi karena bersifat pribadi dan tidak membawa atribut partai, sehingga tidak terlihat dan tidak dipublikasikan. Sehingga, Partai Islam Ideologis ini dianggap partai yang tidak peduli dengan umat. Tetapi, bukankah keikhlasan hanya mengharapkan ridha Allah dan tidak mengharapkan pujian manusia.

Wallahua’lam

Maraji’
1. Pembentukan partai politik Islam, Taqiyuddin An-Nabhani
2. Politik partai Islam meretas jalan baru perjuangan partai politik Islam, Muhammad Hawari
3. Soal jawab seputar gerakan Islam, Abdurrahman Muhammad Khalid
4. Negara Islam, Taqiyuddin An-Nabhani
5. Prinsip dan penyimpangan gerakan Islam, Mustafa Masyhur
6. Peraturan hidup dalam Islam, Taqiyuddin An-Nabhani


No comments:

Post a Comment