TAKENGEN |LeuserAntara.com| Pelaksanaan Kongres Peradaban Aceh 2015 yang direncanakan dan akan dibuka Wali Nanggroe pada 26-28 Oktober 2015 di wilayah Aceh Leuser Antara (ALA), tepatnya di Aceh Tengah, tampaknya akan mendapat penolakan dari sejumlah kalangan masyarakat di sana.
Contoh, penolakan yang dilakukan oleh tokoh pemuda dan mahasiswa
dari elemen Gayo Merdeka Waladan Yoga, kemudian menyatakan, tetap akan menolak
kongres tersebut dilaksanakan di Gayo.”Di Banda Aceh saja kami rela bertarung
nyawa menolak Wali Nanggroe, apalagi di Aceh Tengah, mereka mau membuat “bara”
di sini?. Kita lihat saja, apa yang terjadi jika kongres tersebut dipaksakan di
Aceh Tengah,” ungkap Waladan Yoga kepada LeuserAntara.com, Senin (29/6).
Dia juga menambahkan, sudah jelas-jelas rakyat ALA menolak
keberadaan Wali Nanggroe, kok dipancing lagi, membuat kegiatan yang memicu
“konflik” baru di daerah ini, sebut Waladan.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Zam-Zam Mubarak, Sekretaris PETA
Aceh Tengah, dia mengeluarkan pernyataan yang cukup keras ketika membaca
informasi dari media online lokal yeng menyatakan, tokoh-tokoh Aceh di Jakarta
akan melakukan kegiatan kongres Peradaban Aceh yang memicu konflik itu.
“Farhan Hamid sebagai ketua pelaksana, nggak usah cari muka,
biarkan masyarakat ALA hidup dengan peradabannya sendiri. Di Wilayah ALA juga
ada peradaban Gayo, Singkil, Subulussalam dan lainnya. Jadi nggak perlu
peradaban lain dipaksakan kepada kami,” ujar Zam-Zam yang juga pengurus KP3 ALA
pusat ini.
Orang-orang Gayo yang ikut dalam kegiatan tersebut, sebaiknya
berfikir ulang untuk melaksanakan kegiatan tersebut.”Masih banyak kok, cara
mencari uang dengan cara yang halal lainnya. Nggak harus menjual peradaban,
untuk mendapatkan sekeping rupiah,” sindir Zam-Zam.
Waladan dan Zam-Zam juga menekankan, bukan berarti jika ada
persetujuan dari sedikit tokoh Gayo di Jakarta dan Aceh Tengah kemudian
pelaksanaan kongres tersebut bisa dilaksanakan.”Pernyataan tokoh-tokoh
tersebut, bukanlah representative dari sebagian besar rakyat ALA yang menolak Wali
Nanggroe dan kongres peradaban Aceh dilaksanakan di Tanoh Reje Linge ini,”
sebut mereka.
“Budaya yang beradab adalah, ketika tidak memaksakan suatu budaya
masuk ke “tubuh” budaya lain. Budaya yang beradab adalah, tidak memaksakan
bahasa budaya lain, untuk dibahasakan oleh budaya yang ada, juga budaya
mayoritas tidak menjajah budaya minoritas,” demikian bahasa diplomatis yang
dilontarkan Waladan Yoga.(ZW)
No comments:
Post a Comment